Selasa, 17 Mei 2011

Alasan....

Seorang wanita terburu-buru lari menuju kantor.
Kemacetan membuat ia harus berlari sekalipun baru saja menempuh perjalanan panjang selama 2 jam.
Di jalan bertabrakan dengan orang yang tidak dikenalnya.
"Maaf, saya lagi buru-buru," sambil tersenyum lalu ia berlari lagi.
Di depan gerbang ia bertemu satpam, dan dalam keterburuan sempat menyapa
"Selamat pagi, Pak!"
Lalu segera ia masuk kantor dan duduk di kursi customer service tempatnya bertugas.
Untung tidak terlambat.

Setelah sedikit merapihkan make up dan pakaian, ia siap menghadapi customer.
Sayangnya customer pertama customer yang menyebalkan.
Bayangkan saja setelah perjalanan panjang dan sedikit berlari ia bertemu customer yang menyebalkan.
Customer ini bertanya ngalur ngidul hanya karena ingin berlama-lama duduk di depannya.
Wanita ini tahu customer ini termasuk orang yang pantas diusir, tapi ia juga tahu tidak ada alasan legal untuk melakukannya.
Jadi, dia hanya tersenyum dan terpaksa menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
Sekalipun hatinya mendongkol, ia tidak pernah lepas dari senyumnya ketika berbicara.
Akhirnya customer menyebalkan tersebut pergi dan dia berhadapan dengan customer kedua.
Sekalipun hatinya masih kesal dengan customer pertama ia memulai bicara dengan customer kedua dengan senyum. "Selamat pagi Pak, apa yang bisa saya bantu?"
Melihat senyumnya, customer kedua sama sekali tidak melihat kegundahan sang wanita.
Wanita ini tetap ramah dan tersenyum.

Di saat siang, sang manajer datang dan menegurnya karena kesalahan data.
Wanita ini merasa tidak melakukan kesalahan, tapi tetap saja sang manajer menyalahkannya.
Akhirnya, wanita ini hanya tersenyum dan minta maaf.
Yang penting masalah cepat selesai, pikirnya.
Lalu sang manager datang lagi minta tolong agar wanita ini melakukan suatu tugas baru.
Merekapun berdiskusi panjang mengenai tugas tersebut.
Wanita itu tetap ramah dalam dikusi dengan manajernya sekalipun dalam hatinya masih dongkol pada manajer.
Ituluah sehari-hari yang dilakukannya di tempat kerjanya.



Suatu hari di hari libur.
Wanita itu baru saja jogging sore di hari libur bersama anak bungsunya.
Ketika berjalan menuju pulang tiba tiba anaknya membetulkan tali sepatu dan wanita tersebut tersandung anaknya yang menunduk di depannya dan hampir jatuh.
Wanita itu gundah," Gimana sih, kalau mau ganti tali sepatu minggir dong jangan menghalangi orang!" katanya sedikit keras. Hati sang anak ciut.
(Ups, padahal kalau di kantor, kalau sedang buru-buru dan tabrakan dengan orang langsung memilih kata "maaf" bukan berkata "gimana sih")

Setelah suasana agak mereda, si bungsu anaknya bilang ke mamanya:
"Mam, ayo kita buruan kan Mama janji nonton film "Rumah Tanpa Jendela" bersama teman teman, nanti kita terlambat"
"Aduh, sabar dong, Mama kan cape, apa kita nonton yang besok aja ya?!"
(Ups, kalau ke kantor selalu tepat waktu,tepat janji, sekalipun cape, tetap tepat waktu - kalau buat anak-anak kenapa dengan mudah cape boleh jadi alasan dan mudah mengubah jadwal?)

Ketika tiba di rumah ia melihat suaminya di teras sedang bekerja dengan notebooknya, dan bersama si bungsu ia nyelonong saja masuk tanap menyapa.
(Ups, kalo di kantor ketemu satpam saja, langsung selamat pagi!).

Di dalam rumah anak pertama yang tidak ikut jogging datang ke Mamanya minta diajarkan pelajaran sekolah.
"Ma, mama kan janji kemarin, setelah jogging mau mengajari aku pelajaran ini!"
Dengan muka kelelahan, dan masam wanita itu menjawab.
"Kamu lihat Mama lagi cape kan, nanti aja lah" jawabnya.
Akhirnya sang suami yang melihat gelagat tidak enak coba menegur halus.
"Ma, kemarin kan kita sudah sepakat pelajaran ini Mama yang ngajarin. Karena Papa tidak menguasai pelajaran ini!"
"Iya Mama juga tahu, tapi tunggu dulu lah belum juga istirahat!"
Wanita ini dengan muka cemberut, memalingkan wajah dari suami, masuk kamar dan menutup pintu keras.
Sang suami menyusul dan berkata;
"Ya udah kalau Mama cape, nanti Papa yang ajar sebisanya."
Wanita itu ngambek, dan tidak mempedulikan suaminya.
Kalau sudah begini, sang suami tahu, 1 sampai 2 jam ke depan tidak ada komunikasi.
Sang suami memilih keluar dari kamar.


Apa yang terjadi di kisah ini?
Wanita yang sama, mengalami situasi yang mirip, tapi sikapnya jauh berbeda di kantor dan di rumah.

Jawabannya sederhana, karena ketika di kantor ia mendefinisikan dirinya sebagai "Wanita karir profesional." Tapi ketika di di rumah ia mendefinisikan dirinya "Ibu rumah tangga" bukan "Ibu rumah tangga profesional"

Apa bedanya?
Ketika kita menjadi orang tua, ayah, ibu, atau pasangan yang profesional maka kita akan berskiap sebagai profesional sesuai dengan tuntutan profesional.

Apakah boleh ngambek kepada manajar di kantor? Tidak. Ya jangan nagambek.
Apakah boleh ngambek pada pasangan (suami atau istri) secara agama? Tidak boleh. Ya, jangan ngambek.
Apakah sebaiknya saling menyapa anak atau suami sekalipun di rumah?
Tentu saja. Ya, sapalah mereka.
Mungkin sapaan bisa berbentuk salam, tos tangan, tepuk pundak, elus rambut, tapi itu rutin makanan setiap hari.
Apakah boleh marah pada anak, apakah boleh keras?
Ya tergantung. Sama seperti di kantor kadang kita juga komplain, kita juga tegas bahkan pada customer. Intinya untuk kebaikan.
Jadi kalau keras itu untuk kebaikan boleh saja tapi tidak boleh marah karena emosi.
Marah karena emosi, marah karena cape, marah karena mumet adalah tindakan yang tidak profesional baik di kantor ataupun di rumah.

Seringkali kita menjadikan cape, lelah sebagai alasan untuk bersikap tidak profesional di rumah.

Seringkali kita dengan mudah mengabaikan janji ketika itu di keluarga sekalipun tidak ada alasan yang kuat.

sakinah bisa kita raih asal mau......jadi jangan ada alasan untuk tidak meraihnya...

Antara Berbakti Kepada Orang Tua dan Taat Kepada Suami


Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?

Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ  
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya: الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا
أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ  
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu.1”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.

Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.” Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya: لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ “…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5 Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6 Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7 Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?” Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.” Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.” Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.” Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11 Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.” Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ “Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12 Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam. Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu' kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ “Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16 Dalam hadits yang lain: الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ “Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18 Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya. Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19 Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383).

Wallahu a’lam bish-shawab.

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz: الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha'if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima'. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193. 12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li'an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali'at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at) 18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”

SURAT DARI IBUNDA


Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah ta’ala .......

Segala puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala,
yang telah memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya.
Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-,
keluarga, dan para sahabatnya.

Wahai anakku …
Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara.
Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,
sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis.
Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.

Wahai anakku …
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi
laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak.
Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini,
sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini,
lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu,
dan telah engkau robek pula perasaannya.

Wahai anakku …
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku,
dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut.
Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini,
sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan.
Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan.
Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu,
bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah.
Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjangan kakimu,
atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku,
karena bila semakin hari semakin berat perutku,
berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.

Anakku …
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku,
sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun,
aku merasakan sakit yang tidak tertahankan,
dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis.
Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku,
hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir.
Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku.
Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan,
hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin
bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman.
Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.

Wahai anakku …
Telah berlalu setahun dari usiamu.
Aku membawamu dengan hatiku,
memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku.
Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu.
Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat,
adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu.
Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun,
selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai…
menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang
tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa.
Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar,
kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu,
telah menambah ketampananmu.

Wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu,
semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir,
entah apa rasanya hati ini.
Bahagia telah bercampur dengan duka.
Tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau
mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena
engkau telah mendapatkan pendamping hidup…
Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku,
yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat,
kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku,
sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam.
Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam,
seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening,
dengan dedaunan yang berguguran,
aku benar-benar tidak mengenalmu lagi,
karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat wajahmu.
Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu.
Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang.
Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu.
Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu.
Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku.
Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.

Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia,
dan harapanku  hancur berkeping.
Yang ada hanya keputus-asaan…
Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan,
sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu: Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu,
agar bisa juga aku menatap wajahmu,
agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak,
janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.

Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu,
agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi.
Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan
engkaupun berlalu pergi.

Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku…
karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit…
Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan tetapi, yang tidak pernah sirna  -wahai anakku-  adalah cintaku kepadamu…
masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering…
masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang,
niscaya engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan,
sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana balasan baikmu?!
bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air serupa?!
bukan sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?!
Dan bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:
"Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?!"
Sampai begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah
berlalunya hari dan berselangnya waktu.

Wahai anakku…
Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu,
setiap itu pula bertambah kebahagiaanku.
Bagaimana tidak?!
Karena engkau adalah buah dari kedua tanganku…
Engkau adalah hasil dari keletihanku…
Engkaulah laba dari semua usahaku…

Dosa apakah yang telah ku perbuat,
sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah suatu hari aku salah dalam bergaul denganmu?!
Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?!
Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang
terhina dari sekian banyak pembantu-pembantumu yang mereka semua telah
engkau beri upah?!
Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan
kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?!
Dapatkah engkau sekarang
menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua
yang malang ini?!
  "Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik." 

Wahai anakku…
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.

Wahai anakku…
Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir,
sedangkan engkau sehat wal afiat.
Orang-orang sering mengatakan,
bahwa engkau adalah laki-laki yang supel,
dermawan dan berbudi.

Wahai anakku…
Apakah hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah,
binasa dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan,
dan berpakaian kedukaan?!
Mengapa?
Tahukah engkau itu?!
Karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya…
Karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya…
Karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya…
Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim.

Wahai anakku…
Ibumu inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya…
Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan,
dan balas budi yang baik…
Semoga aku bertemu denganmu di sana,
dengan kasih sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dalam hadits:
  "Orang tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau,
sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah!"
(HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)

Anakku…
Aku mengenalmu sejak dahulu…
semenjak engkau telah beranjak dewasa…
aku tahu engkau sangat tamak dengan pahala…
engkau selalu cerita tentang keuatamaan berjamaah…
engkau selalu bercerita terhadapku tentang
keutamaan shof pertama dalam sholat berjamaah…
engkau selalu mengatakan tentang keutamaan infak, dan bersedekah…
Akan tetapi satu hadits yang telah engkau lupakan…
satu keutamaan besar yang telah engkau lalaikan…
yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda,
sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia mengatakan:

"Aku bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai
Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada
waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau
menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi:
Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di
jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh
-shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi,
niscaya beliau akan menjawabnya."


Wahai anakku…
Inilah aku, ibumu… pahalamu…
tanpa engkau harus memerdekakan budak atau banyak-banyak berinfak dan bersedekah…
aku inilah pahalamu…
Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga dan anak-anaknya,
berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri antah berantah untuk mencari tambang emas,
guna menghidupi keluarganya?!
Dia salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya,
dia mengatakan:
 "Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri
yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas…
Rumah kita yang reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah… "         

Berangkatlah suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh,
untuk mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya,
untuk membangun istana mengganti rumah reotnya.
Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga puluh tahun dalam perantauan,
yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan.
Dia gagal dalam usahanya.
Pulanglah ia kembali ke kampungnya.
Dan sampailah ia ke tempat dusun yang selama ini ia tinggal.
 Apa lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya terbelalak.
Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh anak-anak dan keluarganya.
Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan besar, tambang emas yang besar.
Jadi ia mencari emas jauh di negeri orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…

Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak…
tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar…
di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu masuk surga…
Ibumu adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga,
atau mempercepat amalmu masuk surga…
Bukankah ridloku adalah keridloan Alloh?!
Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!

Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- di dalam haditsnya:
  "Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orangyang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau keduanya, akan tetapi tidak membuat dia masuk surga." (HR. Muslim 2551)

Celakalah seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup
bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak
memasukkan dia ke surga.


Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan duka ini kepada Alloh,
karena jika seandainya keluhan ini telah membumbung menembus awan,
melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan,
yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya…
Aku tidak akan melakukannya wahai anakku… tidak…
bagaimana aku akan melakukannya,
sedangkan engkau adalah jantung hatiku…
bagaimana ibu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit,
sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku…
bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab,
padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…
Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah…
uban-uban sudah mulai merambat di kepalamu.
Akan berlalu masa, sehingga engkau akan menjadi tua pula.
Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.
 Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan.
Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.
Aku tidak ingin engkau menulis surat ini…
aku tidak ingin engkau menulis surat yang sama,
dengan air matamu kepada anak-anakmu,
sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.

Wahai anakmu…
Bertakwalah kepada Allah…
takutlah engkau kepada Allah…
berbaktilah kepada ibumu…
peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya…
basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya…
kencangkan tulang ringkihnya…
dan kokohkan badannya yang telah lapuk…

Anakku…
Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu.
Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali,
atau engkau akan merobeknya.

Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Dari Ibumu yang merana

(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh- oleh ustadz Abu Abdillah Ad-Daariny, Lc)

Kaya atau Miskin


Dari Abu Dzar ra. dia berkata, :Rasullullah SAW bersabda, : "Hai Abu Dzar tahukah kamu apakah harta itu suatu kekayaan?". Aku menjawab,"Benar hai Rasulullah, Beliau bertanya lagi,: "Tahukah kamu apakah sedikit harta suatu kefakiran?". Aku menjawab "Benar ya Rasullullah". Beliau bersabda,"Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan hati, dan kefakiran adalah fakirnya hati. Barang siapa kaya hatinya maka suatu dari hartanya tidak akan membahayakan bagi dirinya. Dan barang siapa merasa fakir hatinya, maka harta yang banyak pun tidak akan mencukupinya, akan tetapi justru membahayakan dirinya karena kikirnya". (HR> Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).

Kawan.. sebagai umat Nabiyullah, kita sering sekali salah mempersepsikan kaya dan miskin. Sering kita menganggap orang kaya harta lebih mulia dari pada orang yang miskin harta. coba kita perhatikan di sekeliling kita.. orang kaya harta meskipun omongan dan tindak tanduknya salah akan tetapi masih saja dimaafkan dan disegani karena kekayaannya... bagaimana dengan yang miskin harta? justru sebaliknya... walaupun mereka berkata jujur dan berbuat benar, itu juga tidak ada artinya...

Kawan...padahal... apalah yang akan kita bawa nanti? di saat kita semua meninggalkan dunia fana ini? Ingatlah kita semua... bahwa kedudukan kita sama dihadapan sang pencipta. Yang melebihkan seseorang dengan yang lainnya hanyalah ketakwaannya....(QS. Al-Hujurat/49 : 13)
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".

Kawan... marilah kita semua berlomba dalam kebaikan.....

Kesempatan atau Pilihan


Bertemu adalah kesempatan..

Mencintai adalah pilihan..

Ketika bertemu seseorang yang membuat kita tertarik, Itu bukan pilihan, itu kesempatan..

Bila kita memutuskan untuk mencintai orang tersebut, bahkan dengan segala kekurangannya..
Itu bukan kesempatan, itu adalah pilihan..

Ketika kita memilih bersama seseorang walau apapun yang terjadi, justru di saat kita menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasangan kita, dan tetap memilih untuk mencintainya..
Itu bukan kesempatan, itu adalah pilihan...

Perasaan cinta, simpatik, tertarik, datang sebagai Kesempatan dalam hidup kita..

Tetapi cinta yang dewasa, mencintai dengan komitmen adalah PILIHAN...

Mungkin kesempatan mempertemukan pasangan jiwa kita dengan kita..
Tetapi mencintai dan tetap bersama pasangan jiwa kita, adalah pilihan yang harus kita pertanggung jawabkan
Kita berada dunia BUKAN untuk mencari seseorang yang Sempurna untuk dicintai.. Tetapi untuk BELAJAR mencintai orang yang Belum Sempurna.. Dengan cara yang Sempurna...

Mari BELAJAR mencintai dan menyayangi pasangan kita yang Belum Sempurna dengan cara-cara yang Sempurna
Karena pasangan kita adalah belahan jiwa kita..
..... SELAMAT MENCINTAI PASANGAN ANDA!! ^_^

Hati-Hati Dengan MATA


”Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang”. Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin.
Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya’ir, “Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api.” 


Hampir sama dengan bunyi sya’ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, “Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan shalat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah.”

Semoga Allah memberi naungan barakahNya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara pandangan mata. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahaya besar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.

Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. “Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu yang mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan saling mecela dan mencerai,” jelas Ibnul Qayyim. Pemenuhan hasrat pencapaian seringkali menjadi dasar motivasi yang menggebu-gebu untuk mendapatkan atau menikahi seseorang. Padahal siap nikah dan siap jadi suami/istri adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama, nuansa nafsu lebih dominan; sedangkan yang kedua, sarat dengan nuansa amanah, tanggung-jawab dan kematangan.

Simak juga dialog imajiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhatul Muhibbin: “Kata hati kepada mata, “Kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman dan kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah, “Hendaklah mereka menahan pandangannya”. Kau salahi sabda Rasulullah saw, “Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya.” (HR.Ahmad)

Tapi mata berkata kepada hati, “Kau zalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu . Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNya. Allah berfirman, “Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada”. (QS.AI-Hajj:46)

Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Coba perhatikan tingkat-tingkat manfaat yang diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’i Syafi. “Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, menahan pandangan juga bisa menguatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaithan ke dalam hati.
Mengosongkan hati untuk berpikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNya tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang “nur”, cahaya. (Al-Jawabul Kafi, 21)
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain, kedipan mata apalagi kecenderungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah swt, “Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati “. (QS. Al-Mukmin: 9). Itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntun suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan pengetahuan Allah yang tidak ada batasnya.

sumber:
- Al-Qur'an
- Ihya Ulumudin
- Shahih Bukhari
- Raudhatul Muhibbin
- Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’i Syafi
- Ikadi Jatim

Shalat dan Sabar


Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu)
orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan
bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS Al Baqarah:45-46)

Kita sering kali mencari pertolongan ke sana ke mari saat kita ditimpa masalah,
namun kita (mungkin hanya saya), malah sering lupa untuk meminta pertolongan
kepada Allah SWT melalui shalat dan shabar. Shalat adalah bukti ketundukan
kita kepada Allah SWT, shalat adalah do’a, shalat adalah ibadah yang bukan
hanya memuji Allah SWT tetapi juga berisi permintaan-permintaan kita kepada
Allh SWT.
Alangkah indahnya dalam sujud dan ruku’ kita mensucikan dan memuji Allah
sebagai simbol ketundukan dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Allah Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, jangankan kepada makhluq-Nya yang tunduk
dan taat, bahkan kepada orang-orang yang membangkang pun dengan segala
kesombongannya, Allah masih tetapi memberikan nikmat tiada tara.
Mungkin kita perlu membenahi shalat kita, agar sesuai dengan syariat dan
menjalankannya dengan penuh kekhusyuan. Kita seharusnya malu jika masih
setengah-setengah menjalankan shalat, mengabaikannya, tidak peduli apakah
shalat kita sudah benar atau tidak, dan shalat hanya penggugur kewajiban.

Sudahkah shalat kita sesuai syariat?
Sudahkah kita yakin bahwa shalat kita sudah sesuai dengan syariat? Marilah kita
bertanya, apakah takbiratul ihram kita sudah benar? Jika ya, tahukah Anda ayat
atau hadits yang membuktikan bahwa takbiratur ihram kita itu sudah benar? Jika
kita masih ragu atau masih belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini,
berarti kita masih perlu belajar, masih perlu membuka buku-buku fiqh dari ulama
terpercaya.
Inspirasi buat saya, meski sudah seperempat abad saya shalat, saya harus tetap
mempelajari bagaimana cara shalat yang benar. Saya harus membaca buku dan
bertanya, bagaimana shalat yang benar, dengan mengetahui dalil-dalil yang
membuktikan kebenaran tersebut.

Sudahkah shalat kita khusyu’?
Bukan sembarang shalat yang akan menjadi penolong kita. Dalam ayat tersebut,
disebutkan bahwa orang yang bisa menjadikan shabar dan shalat sebagai
penolong ialah mereka yang khusyu’. Tidak ada ukuran baku dalam shalat
khusyu’, oleh karena itu kembali kita meminta kepada Allah SWT agar
menjadikan shalat kita dengan khusyu’.
Shalat yang khusyu adalah shalat yang dikerjakan dalam nuansa harap, cemas,
dan cinta, serta dengan takbir yang sempurna, lantunan ayat yang tartil, ruku’
dengan tawadhu, sujud dengan diliputi kerendahan hati dan keikhlasan. Tentu
tidak lupa harus sesuai dengan syariat. Sebagai tip agar shalat kita lebih khusyu’
ialah dengan menganggap bahwa shalat yang kita lakukan adalah shalat yang
terakhir, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw,
Jika kamu berdiri untuk melaksanakan shalat, maka shalatlah sperti shalatnya
orang-orang yang akan berpisah (meninggal). (HR Ibnu Majah)
Subhanallah. Allah sudah menyediakan suatu solusi kepada kita, untuk setiap
masalah yang dihadapi. Cara yang lengkap, bukan hanya mengajarkan apa yang
harus dilakukan, tetapi juga bagaimana melakukannya dengan baik yang benar.
Masihkah kita takut dengan masalah? Masihkah kita menghindari masalah?
Masihkan kita frustasi dengan masalah? Padahal Allah SWT sudah memberikan
solusi bagi kita?
Jalani hidup. Hadapi masalah. Jangan menjadi pengecut sehingga kita tidak
berkarya, tidak mencoba berbuat sesuatu yang besar karena takut masalah
menghadap kita. Banyak pemuda yang enggan menikah karena alasan belum
siap, padahal solusi sudah disiapkan oleh Allah SWT. Banyak orang yang tidak
mau memikul beban dakwah, padahal solusi sudah disiapkan oleh Allah SWT.
Saat Rasulullah saw dan para sahabat hijrah, mereka meninggalkan kampung
halaman, meninggal harta benda, dan meninggalkan keluarga. Mereka
mengambil resiko untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Mereka tahu, masalah
bisa saja muncul baik saat hijrah dan setelahnya. Tetapi mereka tetap
menjalaninya, karena mereka yakin masalah yang akan ditemui, Allah SWT
sudah menyiapkan solusinya.
Rasulullah saw selalu menjadikan shalat sebagai solusi berbagai masalah
seperti yang kita baca dalam berbagai riwayat. Hudzaifa bin Al Yaman
menceritakan, “Jika Rasulullah saw ditimpa sebuah kesulitan beliau bersegera
melaksanakan shalat.” Begitu juga yang diriwayatkan oleh Haritsah bin Madhrib,
“Aku mendengar Ali ra. berkata, ‘Kamu melihat kami dan segala keadaan kami
pada malam perang Badar kecuali Rasulullah saw, beliau mengerjakan shalat
dan berdo’a hingga datang waktu subuh.’”
Sering kali saya mendengar jika seseorang sakit dia seolah-olah ada alasan
untuk tidak shalat. Padahal justru shalat bisa mengobati penyakit, seperti apa
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah saat dirinya sedang sakit perut. Rasulullah
saw. bertanya, “Apa kamu sakit perut?” Ia menjawab. “Benar.” Beliau bersabda,
“Berdirilah dam kerjakan shalat. Sesungguhnya dalam shalat itu terdapat
kesembuhan.”
Allahuakbar. Marilah kita hadapi hidup dengan tegar. Biarkan masalah datang,
tidak usah kita hindari apa lagi lari dari masalah. Saat kita lari dari masalah,
sebenarnya hanya menuju ke masalah yang lain yang mungkin saja lebih besar
dari masalah yang kita hadapi saat ini. Kita sudah memiliki solusi dari setiap
masalah yang muncul yang sudah disiapkan oleh Allah SWT untuk kita. Marilah
jalani hidup dengan lebih semangat dan optimis. Tidak ada alasan untuk tidak.

Saat kesulitan menghimpit, bersabarlah….
Saat kita menghadapi masalah. Saat kita memerlukan pertolongan, yang kita
bisa lakukan selain shalat adalah bershabar. Memang ada yang lain? Usaha!
Yah usaha, yang sebenarnya usaha adalah bagian dari shabar. Hanya saja
usaha dalam rangka shabar lebih bermakna ketimbang hanya usaha saja yang
bisa saja membuat kita frustasi.
Memang, makna kesabaran bukanlah kita diam, pasrah, dan menyerah. Shabar
bersanding dengan usaha bahkan dalam berbagai ayat kita temukan shabar
sering disandingkan dengan kata jihad. Inilah maknanya buat kita,
Usaha/jihad + shabar = pertolongan Allah SWT
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada
Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali 'Imraan: 200)
Jadi janganlah cepat menyerah. Majulah terus, usahalah terus, sebab jika kita
shabar insya Allah, Allah SWT akan menolong kita karena ini yang
diperintahkan-Nya kepada kita. Kenapa harus takut jika ada jaminan dari Allah?
Kenapa harus ragu jika Allah SWT akan menolong kita? Ini bukan kata saya, ini
ayat Al Quran, yang ditujukan untuk kita semua.
Dengan bershabar, kita akan menjadi lebih semangat dalam menjalani hidup.
Bagaimana tidak, pertolongan Allah SWT sudah di depan mata. Tinggal sejauh
mana kita bisa meraih pertolongan tersebut dengan kesabaran kita.

Harapan

Di suatu siang setelah acara seminar umum, sambil melepas lelah aku duduk di teras plaza gedung yang mengadakan acara seminar itu. sambil duduk, aku memperhatikan sekeliling, manusia berlalu lalang di hadapanku. tapi mataku tertarik pada satu tempat,di bawah pohon rindang, di bangku taman.

Perempuan itu sudah separoh baya. aku perhatikan dari tadi ia hanya duduk terdiam memandangi kertas yang ada ditangannya. Tak berapa lama aku melihatnya meneteskan airmata. Penasaran aku beranjak dari dudukku dan duduklah aku  disebelahnya.
Dengan sedikit berbasa-basi, aku mulailah percakapan dengannya. barulah dia bercerita apa yang ada di hatinya.

ah.. tahukah kawan? dia memegang selembar brosur yang dibagi pas kami mendaftar di acara seminar itu. brosur dari kelompok bimbingan haji. lalu apa yang dia risaukan?

"Saya sudah mengumpulkan uang dik, rupiah demi rupiah... hasil saya jualan di pasar. saya sudah berniat pengen banget ikut naik haji dik.... tapi apalah daya, saya ini kan gak paham masalah bank... saya percaya saja pada anak saya untuk menabungkan. ternyata dik... uang saya yang harusnya cukup buat saya daftar, dihabiskan oleh anak saya... saya percaya saja kalau dia bilang sudah diuruskan, tanpa saya bertanya apa bukti dan lainnya."
sambil bercerita, si ibu meneteskan air mata, saya pun memberikan tisue untuk ibu itu.
lalu lanjutnya,"Ah.. tapi biarlah dik... saya sudah maafkan anak saya, biarlah... meski saya sedih... bagaimanapun dia tetap anak saya... walaupun dia selalu buat saya susah, ah.. saya tetap menyayangi dia dik".
"Saya hanya berharap dia berubah, saya berharap kelak dia bisa menghajikan saya".

entah kenapa perasaan aku bercampur aduk. inilah sosok ibu, orang tua, walaupun anak-anaknya sudah menyakiti dia, walaupun anak-anaknya tak berbakti, ibu selalu memafkan, selalu menaruh harapan besar pada anaknya, harapan yang baik tentunya. Ingatkah kita semua kisah pada zaman Rasulullah Saw, tentang Zulbair yang akan dibakar pada waktu sakratul maut?
Karena kasih sayang dan iba ibunyalah dia terselamatkan dari api, karena walaupun dia membuat kecewa ibunya, sang ibu tetap memaafkan dan menyayanginya.

ah ibu.... kadang kita melupakan hal-hal yang kecil sekalipun tentang ibu. Kadang kita membuat sakit hati ibu, membuat menangis, membuat sedih dsb. tapi ibu selalu tersenyum. kadang ibu marah, tapi sebetulnya marahmu ibu karena kau sayang pada kami. Karena kau tak ingin kami tersesat menghadapi hidup ini.
ah ibu.... kami sering lupa bahwa surga di telapak kakimu.....


WANITA

Ketika Tuhan menciptakan WANITA,
malaikat datang dan bertanya "Mengapa kau begitu lama menciptakan WANITA Tuhan?"

Tuhan menjawab, "Sudahkah engkau melihat setiap detail yang Aku ciptakan untuk WANITA?". "Dua tangannya mampu menjaga banyak anak pada saat bersamaan, punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati serta keterpurukan dan semua itu hanya dengan 2 tangan".

Malaikat menjawab dan takjub," Hanya dengan 2 tangan? Tidak mungkin!!"

Tuhan menjawab "Tidakkah kau tau, dia juga mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja 18 jam sehari".

Malaikat mendekat dan mengamati WANITA tersebut dan bertanya "Tuhan, kenapa wanita terlihat begitu lelah dan rapuh? Se-olah2 terlalu banyak beban baginya"

Tuhan menjawab "Itu tidak seperti yang kau bayangkan, itu adalah air matanya..."

"Untuk apa?" tanya Malaikat.

Tuhan melanjutkan "Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebanggaan serta wanita mempunyai kekuatan mempesona laki2. Ini hanya beberapa kemampuan yang dimiliki WANITA.."

"dia dapat mengatasi beban lebih dari laki2, dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri"
"dia mampu tersenyum saat hatinya menjerit, mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu bahkan tertawa saat ketakutan"
"dia berkorban demi orang yang dicintainya"
"dia mampu berdiri melawan ketidakadilan"
"dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang"
"dia girang dan bersorak saat kawannya tertawa bahagia"
"dia begitu bahagia mendengar suara kelahiran"
"dia begitu bersedih mendengar berita kesakitan dan kematian, tapi dia mampu mengatasinya"
"dia tau bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka"

"CINTANYA TANPA SYARAT"

"HANYA ADA 1 YANG KURANG DARI WANITA, DIA LUPA BETAPA BERHARGANYA DIA"

IBU… IZINKAN ANAKMU MERINDUKANMU…


Setiap kali saya mengingat ibunda, selalu hati ini dipenuhi rasa haru dan rindu. Perhatian beliau tak lekang rasanya oleh waktu dan hal apapun. Hal kecil misalnya tentang telepon misalnya, ibu terkadang sampai “marah” apabila lebih seminggu saya tidak berkirim berita. Apalagi kalau lebaran dan ketemu lebaran lagi saya tidak pulang kampung, beliau merasa tidak diperhatikan. Hal ini sungguh membuat saya malu. Karena sebagai anak, sibuk sendiri dengan urusan duniawi yang tak ada habisnya, ini membuat saya kadang lupa memperhatikan sosok ibunda tercinta.
Ibu tentu merindukan saya, amat sangat. 

ibu adalah sosok wanita tegar di mata saya. beliau berjuang sendirian membesarkan anak-anaknya yang kala suaminya, Ayah saya, meninggal di saat kami masih kecil. tak pernah kami dengar beliau mengeluh dan berputus asa dalam membesarkan dan mendidik kami.

Tentunya Anda semua adalah orang-orang yang dirindukan ibu masing-masing. Akan tetapi coba kita tengok, di panti jompo, banyak ibu-ibu renta yang tinggal dengan cerminan “balasan” kasih sayang sang anak. Saya pernah tertegun, saat bertemu dengan seorang ibu renta penghuni panti jompo. Sambil bercerita, berkali-kali dia menangis tersedu-sedu karena merasa telah “dibuang” oleh anak-anaknya. Dia bercerita, bahwa tidak pernah menyangka akhir hidupnya akan diperlakukan seperti itu. Ada sedikit kegeraman dibalik tutur katanya. Saya sadar apabila diteruskan maka akan menjadi makian dan sumpah serapah atau bahkan kutukan. Saya berpikir, alangkah kasihan anak-anaknya apabila terkena sumpah dan kutukan sang ibu. Anak-anaknya mungkin saat ini sedang menikmati hidupnya, akan tetapi tanpa sadar setiap detik ratapan dan tangis ibunya menggerogoti hidupnya, Naudzubillah. Untunglah si ibu ini segera menyadari dan terdiam, dia tersenyum seraya mengucapkan terima kasih pada saya yang mau mendengar cerita dan keluh kesahnya.

Tiba-tiba saya ingin sekali menelpon ibu saya di kampung. Saya lihat pulsa menipis, buru-buru saya cari tempat pengisian pulsa agar dapat nanti mengobrol leluasa. Ternyata handpone beliau tidak aktif. Saya coba ke adik saya juga tidak diangkat, mungkin sedang bekerja. Saya coba telepon rumah, jawaban operator sedang dalam perbaikan. Saya coba telepon kakak, rupanya tidak aktif pula. Kesal, dongkol dan cemas bercampur aduk jadi satu. Tak terasa air mata saya pun terurai di pipi. Betapa saya kuatir dengan keadaan itu. Bayangan sedang “terjadi apa-apa” di sana berkecamuk hebat. Ibu…. Maafkanlah aku….

Memaafkan itu menyehatkan dan Membahagiakan


Orang tak bisa hidup bahagia dengan rasa sakit hati dan kemarahan terhadap orang lain, apalagi ditambah dengan keinginan balas dendam. Beban berat seperti ini harusnya dihilangkan agar hati terhindar dari penyakit, dan hidup lebih sehat dan bahagia.
Rasa sakit hati dan kemarahan karena disakiti atau dianiaya orang lain, selain mempengaruhi kesehatan batin juga mempengaruhi kesehatan jasmani. Disadari atau tidak rasa sakit hati yang mendalam dapat merusak jiwa dan kesehatan. Maka memaafkan adalah obatnya. Dengannya tubuh menjadi lebih rileks, aliran darah lebih lancar karena jantung bekerja normal tanpa ganguan. Ketimbang untuk orang lain, memaafkan sebenarnya amat baik manfaatnya buat diri kita sendiri. Lalu bagaimana caranya?
Memang tak selalu mudah memaafkan kesalahaan orang lain. Faktor psikologis seperti pembiasaan dari orang tua (yang tentu ditiru anak-anaknya) atau kurang matangnya kepribadian seseorang, adalah sedikit dari sebab kenapa orang sulit memberi maaf. Akan tetapi tak lantas membuat kita menjadi orang yang sukar memafkan bukan? Apalagi sebagai makhluk paling sempurna yang diberi pilihan, mau memaafkan atau tidak, mau terus menderita atau tidak.
Cara yang cukup sederhana untuk adalah dengan tahap-tahap sbb:
1.   Hadapilah kemarahan, sakit hati dan rasa malu Anda.
2.   Jalankan proses memaafkan, lakukan itu dan buang jauh-jauh keinginan balas dendam.
3.   Maafkanlah. Pahamilah mereka yang bersalah pada anda, kita tidak sedang menghakimi seseorang, berusahalah empati terhadapnya.
4.   Sembuhkanlah diri anda.

Langkah-langkah praktis ini dapat kita praktekkan untuk sakit hati, kekecewaan, kemarahan dalam skala kecil atau besar. Motivasi memaafkan harusnya lebih kuat, karena Allah menyatakan dalam berbagai ayat di al-Qur’an Allah memberi keutamaan orang yang pemaaf. Juga contoh Rasulullah adalah orang yang mampu memaafkan walau sekeji apapun perlakuan yang diterimanya. Wallahu’alam…

SEJARAH MUSHAF ALQUR’AN


Alqur’an yang kita pegang saat ini pada awalnya belum berbentuk mushhaf seperti sekarang. Dahulu Alqur’an pada masa Rasullullah masih hidup ditulis di atas berbagai benda, seperti kulit kambing, kulit onta, daun, kulit pohon, pelepah kurma maupun di atas tulang binatang. Pada masa Rasul upaya pelestarian dilakukan sendiri oleh Nabi, dengan secara langsung mengingat, menghapal dan menyampaikan di hadapan para sahabat. Lalu sahabat menyampaikan secara berantai, kemudian ada yang menulis dan kebanyakan dikoleksi pribadi. Pada umumnya kaum Quraisy memiliki hafalan yang sangat kuat, karena pada masa itu mereka langsung bertemu dengan dan berguru pada Rasullullah disamping itu Alqur’an turun dalam bahasa mereka bahasa Quraisy.
Dalam menghapal dan mentransmisikan Alqur’an, Nabi tidak jarang mendapat peringatan dari Allah, agar selalu berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam membacakan ayat-ayat Alqur’an. (QS. Thaha, 20 : 114).
Ketika ayat- ayat Alqur’an diturunkan Allah, para sahabat segera berlomba untuk menghapalkannya. Setelah hapal mereka menyampaikannya kepada keluarga dan sahabat yang lain. Jika terjadi bacaan yang ”anah”, mereka langsung menginformasikan kepada Rasullullah, lalu Rasul segera menjelaskan karena hapalan beliau sangat kuat. Rasul bahkan digelari sebagai penghulu para penghapal Alqur’an. Penulisan Alqur’an pada masa Rasul sudah dikenal secara umum, beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu, antara lain Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Khalid bin Walid, Ubay ibn Ka’ab, Zaid bin Tzabit, Tsabit ibn Qais, Amir ibn Fuhairah, Amr ibn Ash, Abu Musa al-Asyari, dan Abu Darda.
Setelah Rasullullah wafat, Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Pada masa kekhalifahannya banyak terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad., slah satunya yang kita kenal dipelopori Musailamah al-Khadzab. Kondisi ini mengakibatkan perang Yamamah, 12 H. Banyak para al-huffazh, para penghapal Alqur’an yang tercatat sekitar 70 orang gugur di medan perang, dan sekitar 500 syuhada gugur. Peristiwa tersebut mengguggah Umar ibn Khattab yang kita kenal sebagai mujtahid ulung, meminta kepada Abu Bakar agar Alqur’an segera dikumpulkan dalam sebuah mushhaf. Semula Abu Bakar meras ragu, akan tetapi melihat kenyataan yang ada, beliau segera memerintahkan Zaid bin Tzabit unuk egera mengumpulkan ayat-ayat Alquran. Ciri mushaf pada masa Abu Bakar ini ditulis dengan sangat teliti dan cermat.
Setelah Abu Bakar wafat, mushhaf terjaga dengan sangat ketat di bawah tanggung ajawab langsung Umar ibn Khattab sebagai khalifah kedua. Pada masanya mushhaf diperintahkan disalin dalam lembaran (shahifah) yang lebih baik. Umar tidak menggandakannya karena memang hanya untuk master, naskah orisinil saja. Setelah naskah selesai ditulis sesuai aslinya dan urutannya maka naskah tersebut diserahkan pada Umi Hafsah istri Rasul untuk disimpan. Pertimbangan selain istri Rasullullah, Hafsah dikenal pandai membaca dan menulis.
Untuk menjadi sebuah mushhaf seperti sekarang, Alqur’an memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu yang relatif panjang. Mushhaf Alqur’an adalah hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah dibentuk oleh Khalifah Ustman bin Affan. Mushhaf inilah yang sering disebut sebagai Mushhaf Usmani atau Mushhaf imam. Prosesnya sangat panjang, dimulai dari pengumpulan catatan, penyampaian, pencattatan,dan kodifikasi hingga menjadi mushhaf Alqur’an yang disebut jam’Alqur’an. Semua proses ini adalah upaya dari bagian pentingndari usaha pengamanan dan pelestarian Alqur’an yang merupakan kitab suci asli dari Allah SWT.
Islam pada masa pemerintahan Ustman sudah meluas bahkan keluar dari Jazirah Arab. Untuk mengajarkan Alqur’an dikirimlah guru-guru ke setiap wilayah Islam tersebut. Para guru membawa mushhaf yang sudah digandakan yang ditulis pada masa Umar ibn Khattab setelah Ustman mengirim surst kepada Hafsah untuk mengirimkan salinan mushhaf tersebut dan diperbanyak. Khalifah Ustman memerintahkan Zaid bin Tzabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abd ar-Rahman untuk bekerjasama menggandakan Alqur’an. Ustman berpesan, apabila di antara kalian terjadi perbedaan dalam mengenal Alqur’an, tulislah dalam dialek Quraisy, karena Alqur’an diturunkan dalam dialek dan bahasa mereka.
Setelah tim selesai melaksanakan tugas, mushhaf yang salinan ikirm ke berbagai kota, sementara beberapa mushhaf yang yang lainnya yang masih ada oleh Ustman diperintahkan dibakar, untuk menghindari terjadinya pertikaian di kalangan umat. Hal ini dilakukan karena setiap mushhaf yang dibakar mempunyai kekhususan dimana masing-masing sahabat memberi tanda baca yang hanya dipahami pribadi, dan ada yang mencampur baurkan antara wahyu dan hadist dan sebagainya.
Mushhaf yang ditulis masa Abu Bakar tetap tersimpan ditempat Hafsah sampai akhir hayatnya. Diduga mushhaf otentik Ustman juga disimpannya. Setelah meninggal mushhaf tersebut diambil oleh Marwan ibn al-Hakim (w.65), walikota Madinah masa itu. Disebutkan dalam sabuah riwayat bahwa Marwan ibn al-Hakim memerintahkan untuk membakar mushhaf orisinil itu karena berbagai pertimbangan.
Sungguhpun demikian, mushhaf Ustmani masih belum disertai tanda baca. Hal ini bisa menyebabkan kesalahan fatal untuk orang awam. Pada perkembangan selanjutnya ada berbagai upaya para ulama menyempurnakan tanda baca dalam Alqur’an. Ketika wilayah Islam sudah mulai meluas perbedaan  bacaan itu sangat berbahaya karena bisa sangat berbahaya bagi perjuangan kebenaran. Berangkat dari kenyataan ini Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M) memerintahkan ulama besar al Hajjaj ibn Yusuf as-Saqati untuk segera memberi tanda baca pada Alqur’an. Dalam hal ini al-Hajjaj dibantu Nashr ibn Ashim, dan Yahya ibn Ma’mur dua murid ulama tersoshor Abu al-Aswad ad Duwali.
Ciri mushhaf yang ditulis pada masa Ustman, adalah ayat-ayat disusun berdasarkan riwayat yang mutawatir, tertib sesuai waktu sebelum dan sesudah hijrah, dan urutannya seperti yang ada sekarang. Sedangkan yang ditulis di masa Abu Bakar dan Umar, tidak ditulis berdasar tertib turunnya ayat, tetapi berdasarkan turunnya wahyu. Selain itu mushhaf Ustmani, di dalamnya tidak lagi terdapat catatan tambahan yang penting sebagai tafsir dari beberapa ayat tertentu seperti yang sering ditemui di mushhaf para sahabat. Mengenai kedudukan Mushhaf Ustmani, Jumhur Ulama tafsir cenderung  sependapat meniru untuk keseragaman dan konsistensi terhadap Alqur’an, karena Mushhaf Ustmani lebih memperkaya bentuk qira’ah daripada bentuk mushhaf yang baku, masa Abu Bakar dan Umar ibn Khattab.
Wallahu’alam bishawab