Senin, 26 Maret 2012

Takut Mati


Ada seorang laki-laki yang disebut-sebut selalu berada di sisi Nabi Muhammad saw. Orang itu sering dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah bertanya, ''Bagaimana teman kalian itu menyebut mati?''
''Kami hampir tidak pernah mendengar ia mengingat mati,'' jawab mereka.
 ''(Jika begitu), maka sesungguhnya teman kalian itu bukanlah di situ (di sisi Nabi),'' jawab Rasulullah.
Seorang sahabat dari kaum Anshar bertanya. ''Wahai Nabi, siapakah manusia yang paling cerdas dan mulia?''
''Mereka yang sering mengingat mati dan (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,'' sabda Nabi.
Memasuki Tahun Baru ini, kiranya kita perlu mengingat hadis di atas, yang dikutip Imam Ghazali dalam Teosofia Al-Qur'an. Dalam setiap pergantian tahun, sebenarnya umur kita semakin mengurang. Hari-hari kehidupan kita semakin dekat kepada liang kubur alias kita akan mati.

Menurut Ghazali, dalam syariat Islam, kita akan mendapatkan pahala besar kalau sering mengingat kematian. Sabda Nabi, ''Aku tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan dapat berbicara. Yang diam adalah maut (mati), sedangkan yang berbicara adalah Alquran.''
Dalam Alquran, Allah tegas mengatakan, ''Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS 62:8).

Namun demikian, tak jarang sebagian kita merasa takut menghadapi kematian. Takut mati, kata Murtadha Muthahhari dalam Jejak-jejak Ruhani, merupakan insting dan alami pada setiap makhluk hidup. Bayangan kematian adalah bayangan yang sangat menakutkan. Jika kita takut terhadap sesuatu, karena sesuatu itu akan membawa kematiannya. ''Sekiranya kematian itu tidak ada di tengah manusia, niscaya tidak ada sesuatu pun yang ditakutinya,'' tulis Muthahhari.

Menurut Ibn Miskawaih dalam Menuju Kesempurnaan Akhlak ada beberapa kemungkinan kenapa takut mati sering menghantui kita. Di antaranya, mungkin kita tidak tahu apa mati itu; tidak tahu di mana sebetulnya jiwa akan pergi nanti; salah menduga bahwa tubuh dan jiwa akan hancur tanpa bekas dan ada penderitaan yang sangat menyakitkan; takut siksa dan bingung apa yang akan kita hadapi setelah mati; atau kita terlalu sayang harta sehingga sedih meninggalkannya. ''Seluruh prasangka ini adalah salah, dan tak terbukti sama sekali,'' tulisnya.

Kalau kita takut mati, berarti kita takut terhadap apa yang mestinya didambakan. Kematian, kata Ibn Miskawaih, sebenarnya merupakan perwujudan dari apa yang tersirat dalam definisi tentang manusia sebagai makhluk hidup, berpikir, dan akan mati. Artinya, kematian justru menyempurnakan manusia. Lewat kematian, manusia mencapai bidang kehidupannya yang paling tinggi.

Ujian


Allah menguji hamba-Nya dengan musibah, sebagaimana seseorang menguji kemurnian emas dengan api. Jika yang terlihat emas murni, itulah orang yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Jika mutunya kurang dari itu, pertanda ia orang yang bimbang dan ragu. Dan jika yang terlihat seperti emas hitam, itulah orang yang benar- benar ditimpa fitnah dan musibah.

Tidak dengan sendirinya jika seorang hamba menyatakan dirinya beriman, ia bebas dari pengujian. Tidak dengan sendirinya jika seorang hamba menyatakan dirinya siap diuji, lalu ia bebas dari rasa takut dari pengujian itu. Memahami pengujian iman adalah memahami kekuasaan Allah. Kesadaran yang paling puncak ketika kita memahami Alquran adalah kepasrahan kepada Tuhan.
Iman dan rasa takut itu bersanding sehingga keduanya saling memandang. Barangkali ada tenggang rasa. Memang, rasa takut yang dikaruniakan kepada setiap makhluk itu merupakan kendala terbesar dalam menempuh lautan iman. Bagaimana iman yang besar yang didampingi keberanian yang besar pula, dapat kita miliki dalam beribadah, itulah soalnya.

Sebenarnya, apa pun nasib kita, kita layak bersyukur karena nasib itu Allah sendiri yang memberikannya. Tidak hanya berwujud musibah, pengujian itu juga berwajah keuntungan. Alhamdulillah.
Hadis riwayat At-Thabrani yang dikutip di atas selalu mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui atas seluruh aktivitas makhluknya. Bahkan ketika kita dikaruniai kekuasaan -- sebagai presdir maupun ketua RT -- kita justru sedang masuk ke laboratorium pengujian Allah itu. Kita menjadi pemimpin yang baik atau sebaliknya. Iman dan ketakutan, pengujian dan keputusasaan, seperti jalin-menjalin.

Begitu besar sesungguhnya tanggung jawab dan pengujian yang dibebankan seorang pemimpin, sampai-sampai kita ingat Abu Bakar Al-Shiddiq yang pernah berpidato: ''Mereka yang paling sengsara di dunia dan di akhirat adalah para raja! Apabila seorang raja memiliki sesuatu, maka Allah akan menjadikannya selalu tak puas. Muak akan apa yang dimilikinya, tapi rakus terhadap apa yang digenggam orang lain.''
''Ia memperpendek masa hidupnya dan mengisi hatinya dengan kecemasan. Karena raja tidak puas bila mendapat sedikit, namun sakit hati kalau mendapat banyak. Ia bosan akan hidup enak dan keindahan tak lagi menarik baginya. Tak ubahnya seperti uang palsu atau fatamorgana, ia tampak ceria tapi gundah-gulana batinnya. Dan bila ia meninggal dunia, akan ditimpa hisab yang keras, dengan sedikit pengampunan. Sesungguhnya raja adalah orang yang patut dikasihani!'' 

jadi saudaraku.. ujian adalah bentuk kasih sayang Allah... bentuk perhatian-Nya terhadap kita semua... wallhu'alam...(RDE)

KETIKA ALLAH BERKATA "TIDAK"


Ya Allah ambillah kesombonganku dariku, Allah berkata, "Tidak. Bukan Aku yang mengambil, tapi kau yang harus menyerahkannya."
Ya Allah sempurnakanlah kekurangan anakku yang cacat, Allah berkata, "Tidak. Jiwanya telah sempurna, tubuhnya hanyalah sementara."
Ya Allah beri aku kesabaran, Allah berkata, "Tidak. Kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan; tidak diberikan, kau harus meraihnya sendiri."
Ya Allah beri aku kebahagiaan, Allah berkata, "Tidak. Kuberi keberkahan, kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri untuk menghargai keberkahan itu."
Ya Allah jauhkan aku dari kesusahan, Allah berkata, "Tidak. Penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada Ku."
Ya Allah beri aku segala hal yang menjadikan hidup ini nikmat, Allah berkata, "Tidak. Aku beri kau kehidupan supaya kau menikmati segala hal."
Ya Allah bantu aku MENCINTAI orang lain, sebesar cintaMu padaku, Allah berkata... "Akhirnya kau mengerti !"

Kadang kala kita berpikir bahwa Allah tidak adil, kita telah susah payah memanjatkan doa, meminta dan berusaha, pagi-siang-malam, tapi tak ada hasilnya. Kita mengharapkan diberi pekerjaan, puluhan-bahkan ratusan lamaran telah kita kirim kan tak ada jawaban sama sekali -- orang lain dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan. Kita sudah bekerja keras dalam pekerjaan mengharapkan jabatan, tapi justru orang lain yang mendapatkannya-tanpa susah payah. Kita mengharapkan diberi pasangan hidup yang baik dan sesuai, berakhir dengan penolakkan dan kegagalan, orang lain dengan mudah berganti pasangan. Kita menginginkan harta yang berkecukupan, namun kebutuhanlah yang terus meningkat.
Coba kita bayangkan diri kita seperti anak kecil yang sedang demam dan pilek, lalu kita melihat tukang es. Kita yang sedang panas badannya merasa haus dan merasa dengan minum es dapat mengobati rasa demam (maklum anak kecil). Lalu kita meminta pada orang tua kita (seperti kita berdoa memohon pada Allah) dan merengek agar dibelikan es. Orangtua kita tentu lebih tahu kalau es dapat memperparah penyakit kita. Tentu dengan segala dalih kita tidak dibelikan es. Orangtua kita tentu ingin kita sembuh dulu baru boleh minum es yang lezat itu. Begitu pula dengan Allah, segala yang kita minta Allah tahu apa yang paling baik bagi kita. Mungkin tidak sekarang, atau tidak di dunia ini Allah mengabulkannya. Karena Allah tahu yang terbaik yang kita tidak tahu. Kita sembuhkan dulu diri kita sendiri dari "pilek" dan "demam".... dan terus berdoa.

Minggu, 25 Maret 2012

Rencana Allah itu Indah

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet. Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut :"Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil :
"Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu. "
Waktu aku sudah duduk di pangkuan, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet. Kemudian ibu berkata :"Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan".

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah ; "Allah, apa yang Engkau lakukan ?". Ia menjawab :" Aku sedang menyulam kehidupanmu." Dan aku membantah, " Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah ?". Kemudian Allah menjawab, "Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke sorga dan mendudukkan kamu di sisiKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu."  Subhanallah, Maha Suci Allah SWT.

"Ightanim Khomsan Qobla Khomsin"

Bismillahirrahmanirrahim

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati
supaya menetapi kesabaran."
(QS. 103 [Al'Ashr]:1- 3)

Rasulullah SAW pernah bersabda: "Rebutlah lima perkara sebelum datangnya
lima perkara. Pertama : masa sehat sebelum sakit. Kedua : masa kaya
sebelum datangnya masa sempit (miskin). Ketiga : masa lapang sebelum
tiba masa sibuk. Keempat masa muda sebelum datang masa tua dan kelima
masa hidup sebelum tiba masa mati."
(HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Lima perkara sebelum datang lima
perkara (Ightanim Khomsan Qobla Khomsin), yaitu:

Pertama, Hayataka qobla mautika; mumpung masih hidup sebelum mati,
pergunakanlah umur itu seproduktif mungkin, karena hanya ketika hidup
orang bisa berinvestasi untuk kebahagiaan akhirat nanti. Jika orang
sudah mati maka produktifitasnya h
abis, selain tiga perkara; amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak saleh.
Mumpung masih hidup, perbanyak amal jariah, yakni amal yang
kemanfaatannya berumur panjang dan dimanfaatkan oleh orang banyak,
misalnya membuat jembatan, jalan, gedung sekolah, masjid, rumah sakit
dsb. Mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada orang lain,
selagi ilmu itu diamalkan, maka kita akan meraih ganjarannya. Serta
didiklah anak kita hingga menjadi anak saleh, karena hanya doa anak
saleh yang dijamin diterima Tuhan.

Kedua, Syababaka qobla haramika. Mumpung masih muda, sebelum pikun,
gunakan masa muda untuk belajar dan bekerja keras, karena belajar di
waktu muda seperti orang melukis diatas batu, tidak mudah hilang,
sedangkan belajar di waktu tua apalagi setelah pikun, seperti melukis di
atas air. Juga bekerja keraslah di usia muda untuk menabung, agar di
usia tua nanti tinggal menikmati buah dari tanaman ketika masih muda.
Orang, ketika sudah pikun, ia kembali lemah seperti anak-anak, kembali
tidak mengerti apa-apa seperti ketika belum sekolah.

Ketiga, Shihhataka qobla saqamika. Mumpung masih sehat, sebelum sakit.
Sehat bukan saja kenikmatan, tetapi juga peluang. Dalam kondisi sehat
orang bisa mengerjakan banyak hal, dan bisa mengatasi banyak hambatan.
Sehat itu satu kenikmatan yang jarang disadari, baru setelah sakit orang
menyadari betapa bermaknanya sehat.

Keempat, Ghinaka qobla faqrika. Mumpung masih punya, masih kaya, belum
bangkrut, gunakan kekayaan kita untuk hal-hal yang positif bagi
keluarga, karib kerabat, tetangga atau masyarakat luas, karena jika
keburu bangkrut kita tidak lagi mampu memberi, dan baru menyadari betapa
bermaknanya kontribusi orang kaya. Ciri orang kaya adalah laksana air
yang mengalir ke bawah, lebih banyak memberi daripada menerima. Jika
orang sudah berharta banyak tetapi kebutuhannya malah lebih banyak
sehingga ia tidak mampu memberi malah mengambil jatah orang miskin, maka
orang seperti itu bukanlah orang kaya. Oleh karena itu ada orang kaya
harta tapi miskin hati, dan ada orang yang miskin harta tapi kaya hati.
Orang yang kaya hati, punya lima ribu rupiah masih bisa memberi empat
ribu rupiah. Mari berbuat mumpung masih kaya, sebelum bangkrut.

Serta kelima, Sa`atika qobla dloiqika. Mumpung masih punya kelapangan,
belum terhimpit kesempitan, mumpung sempat belum sempit, gunakan
kesempatan itu untuk melakukan hal-hal yang terbaik. Kesempatan sering
tidak datang dua kali, maka jangan sia-siakan. Jangan salah pilih dan
salah mengambil keputusan ketika kesempatan terbuka. Banyak orang
menggunakan "kesempatan" dalam "kesempitan" yang berujung pada
penyesalan yang panjang, hanya nikmat sesaat berujung pada derita
selamanya.

Lima hal itu merupakan inti visi dan misi hidup manusia, kunci
kesuksesan itu terletak pada bagaimana kita mempergunakan kesempatan
dengan sebaik-baiknya. Mempergunakan kesempatan merupakan wujud pasrah
pada upaya dan usaha, bukan pada hasil. Prinsip pasrah pada upaya dan
usaha akan membentuk jiwa yang teguh, tegar, kuat, dan tidak mudah putus
asa. Bila suatu saat upaya kita belum menghasilkan sesuatu yang kita
harapkan, maka kita tidak lantas putus asa, karena kewajiban kita adalah
berupaya.

Karena, Inna sa'yakum lasyattaa, sesungguhnya usaha kamu memang
berbeda-beda (QS. 92 [Al Lail]
:4). Wallahu'alam bishshawab (RDE)