Kamis, 26 Agustus 2010

Kisah Seorang Tukang Batu Mencari Kebahagiaan

Tukang Batu

Suatu ketika ada seorang tukang batu yang tidak puas dengan dirinya dan
hidupnya. Suatu hari ia melewati rumah pedagang kaya. Lewat gerbang yang
terbuka, ia melihat banyak barang-barang indah dan tamu-tamu penting. “Pasti
pedagang itu sungguh hebat,” pikir tukang batu. Ia menjadi iri dan ingin bisa seperti
pedagang itu.
Betapa terkejut dirinya, tukang batu tiba-tiba berubah menjadi pedagang,
menikmati kekayaan dan kekuasaan yang tidak pernah ia bayangkan, dan
semua orang iri padanya. Tidak lama kemudian seorang pejabat tinggi lewat,
ditandu di atas kursi mewah, diiringi bawahannya dan dikawal oleh pengawal
yang membunyikan gong. Setiap orang, termasuk orang kaya sekalipun harus
menunduk pada waktu pejabat itu lewat. “Sungguh hebat pejabat itu !” pikirnya.
“Aku ingin menjadi pejabat tinggi !”
Kemudian ia menjadi pejabat tinggi, ditandu kemanapun ia mau pergi, ditakuti
dan dibenci oleh semua orang. Hari itu sangat panas, jadi sangat tidak nyaman
ditandu. Ia melihat ke atas, ke matahari. Matahari tetap bersinar dengan terik
tidak terpengaruh oleh kehadirannya. “Sungguh hebat matahari !” pikirnya. “Aku
ingin menjadi matahari !”
Lalu ia menjadi matahari, bersinar terik pada semua orang, mengeringkan
sawah, disumpahi oleh petani dan pekerja. Tetapi kemudian awan besar hitam
menutupinya sehingga sinarnya tidak dapat sampai ke bumi. “Sungguh hebat
awan itu,”pikirnya. “Aku ingin menjadi awan !”
Lalu ia menjadi awan, membuat banjir seluruh sawah dan desa, dibenci oleh
semua orang. Tetapi ia mendapati dirinya didorong oleh suatu kekuatan, dan
ia sadar bahwa itu adalah angin. “Sungguh hebat angin,” pikirnya. “Aku ingin
menjadi angin !”

Kemudian ia menjadi angin, membawa terbang atap rumah, mengangkat
pohon, ditakuti dan dibenci oleh semua yang ada di bawahnya. Tetapi setelah
beberapa waktu, ia melihat sesuatu yang tidak bisa digerakkannya, seberapa
kuat dihembusnya – yaitu sebuah batu yang sangat besar.
“Sungguh hebat batu itu !” pikirnya. “Aku ingin menjadi batu !”
Lalu ia menjadi batu besar. Lebih kuat dari apapun di dunia. Tetapi saat ia menjadi
batu, ia mendengar suara palu sedang mengenai permukaan yang keras, dan ia
merasa dirinya sedang dipalu. “Apa yang lebih kuat dariku ?” pikirnya.
Ia melihat ke bawah dan melihat di bawah sana ada seorang tukang batu.

Di era informasi sekarang ini, kesejahteraan makin terlihat dengan adanya media
dan menimbulkan keinginan lebih. Pada saat Anda belum memiliki mobil, Anda
ngiler melihat mobil dan membatasi diri Anda untuk memiliki mobil yang paling
murah. Namun di saat Anda sudah memiliki mobil itu dan duduk di belakang
setirnya, Anda memiliki keinginan lebih untuk memiliki mobil yang lebih baik.
Mobil yang sekarang adalah kondisi “normal” Anda sekarang. Ketika Anda
merasa mendekati garis finish, seringkali Anda akan merasa bahwa garis finish
tersebut malah semakin jauh.
Kebahagiaan bukan sesuatu yang serta merta terjadi pada kita, tetapi sesuatu yang
diciptakan. Kunci kebahagiaan tidak terletak pada apa yang belum kita miliki,
tapi apa kita bisa menikmati apa yang kita miliki sekarang. Orang yang selalu
ingin memiliki selalu berusaha mencapai apa yang ia belum punya, sehingga
selalu ada kesenjangan. Kesenjangan inilah yang menimbulkan perasaan tidak
pernah puas. Orang seperti ini tidak pernah mengenal kata cukup, selalu
mengejar kekayaan. Di kepalanya tercetak, uang adalah segalanya. Sebaliknya
orang yang menikmati, menfokuskan pikirannya pada apa yang sudah ia miliki. Ia
mensyukuri apa yang ia punya. Banyak ataupun sedikit. Semakin ia mensyukuri,
semakin mudah ia menikmati. Pada akhirnya akan melahirkan perasaan aman,
tentram, dan bahagia. Apabila orang tidak pernah bisa menikmati, seberapapun
banyaknya harta tidak akan membuat ia bahagia.