Minggu, 05 Juni 2011

Hasan Al-Bashri

HASAN aL-BASHRI (21-110 H)

          Hasan al-Bashri yang bernama lengkap Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar, lahir di Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat tahun 110 H. ibunya adalah hamba sahaya Ummu Salamah, istri Nabi. Hasan Al-Bashri tumbuh dalam lingkungan yang shaleh dan mendalam pengetahuan agamanya, terutama Fiqh dan Kalam, dan terkenal sebagai orator yang cemerlang. Dia penerima hadist dari sebagian sahabat dan meriwayatkan bahwa kepada Ali ibn Abi Thalib ra diperlihatkan sebagian ilmu pengetahuan, maka dia pun begitu terpesona melihat pengetahuan itu. Ia adalah murid sahabat Nabi, Huzaifah ibn al-Yaman, orang yang disebut-sebut dapat berbicara tentang rahasia hati (asrar al-qulub).
          Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa di dasarkan pada sunnah Nabi. Sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Bahkan ketika ada orang datang kepada Anas bin Malik-sahabat Nabi yang utama- untuk menanyakan persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang tabi’in pun yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.”
          Hasan al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Tak heran pula kalau ceramah-ceramahnya dihadiri seluruh segmen masyarakat. Di samping dikenal sebagai zahid, ia juga dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Di antara karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Abu Na’im al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan al-Bashri sebagai berikut, “Sahabat takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah ajaran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sehingga Sya’rani pernah berkata,”Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan al-Bashri).’
          Lebih jauh lagi, Hamka telah mengemukakan sebagian ajaran-ajaran tasawuf Hasan al-Bashri seperti ini:
  1. “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.”
  2. “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.”
  3. “Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”
  4. “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.”
  5. “Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut: Takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
  6. “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.”
  7. “Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.”
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan al-Bashri  didasari rasa tkut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya setelah kami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya. Sikapnya itu seirama sabda Nabi, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.”
Di antara ajaran tasawuf Hasanal-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi adalah:
“Anak Adam!
Dirimu, diriku!
Dirimu hanya satu, Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu.
Tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina.
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.” 

REFERENSI :
-       Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani.
-       Akhlak Tasawuf, Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.
Kamus Tasawuf, Dr. M. Solihin,M.Ag dan Drs.Rosihon Anwar, M.Ag