Rabu, 16 Juni 2010

trilyuner yang sederhana

THE BILLIONAIRE WHO WASN'T
How CHUCK FEENEY Secretly Made and Gave Away a Fortune
Buku karya Conor O'Clery; PublicAffairs; 337 halaman; $26,95

Dikenal dengan julukan wood-work donor (filantropis di balik layar), ia memberikan bantuan secara diam- diam, misterius, dan bersikeras tidak mau diungkap identitasnya. Sampai kiprahnya terkuak 10 tahun lalu, Chuck Feeney adalah orang Samaria misterius yang paling royal sedunia.

Meski sudah berusia 76 tahun, sosok Feeney yang lahir di New Jersey ini tetap unik. Pria yang berdasarkan ukuran saat ini telah mengumpulkan kekayaan senilai $4 miliar itu menjauhi kemewahan. Ia membeli jas siap-pakai, menenteng tas plastik untuk tempat berkas, memakai kacamata baca biasa yang bisa dibeli di toko-toko obat, dan menggunakan arloji plastik senilai $15.

Setiap kali terbang, Feeney duduk di kelas ekonomi. Bahkan, ia tidak punya rumah dan mobil. Feeney sering heran mengapa orang perlu punya lebih dari sepasang sepatu. Kalau sedang di New York, ia senang makan pie ayam di ternpat makan di pusat kota yang kotor. "Sejak dulu, saya tak habis pikir mengapa orang perlu punya rumah seluas hampir 3.000 meter persegi atau ke mana-mana diantar naik Cadillac enam pintu," kata lelaki yang fobia publisitas ini pada Business Week dalam sebuah wawancara langka tahun 2003. "Joknya toh sama saja dengan jok taksi. Anda mungkin juga akan lebih panjang umur kalau ber jalan kaki." Seperti kata kolumnis New York Times Jim Dwyer, kehidupan Feeney mirip Donald Trump, tapi kebalikannya.

Dalam buku yang enak dibaca ini, The Billionaire Who Wasn't: How Chuck Feeney Secretly Made and Gave Away a Fortune, jur nalis Irlandia Conor O'Clery menuturkan kehidupan Feeney yang menarik. Ia juga mengulik psikologi di balik penolakan mentah- mentah Feeney terhadap kehidupan konsumtif. Masa kanak- kanak Feeney di sepanjang era Depresi, pola asuhnya yang Katolik, orang tua yang dermawan, dan status anak miskin di sekolah kelas atas; semua berpadu serta memengaruhi keder­mawanannya.

Dalam penuturan detail yang tajam dan terkesan seperti kisah-kisah Charles Dickens, O'Clery mengajak kita menci um, melihat, serta mendengar masa kanak-kanak Feeney yang tak menghasilkan banyak uang meski sudah bekerja keras. Ia pernah dikeluarkan dari Regis High School di Manhattan yang elite. Feeney membiayai kuliah di sekolah manajemen hotel Cornell University dengan cara berjualan sandwich. la menjual 700 sand wich isi keju dan bahan-bahan murahan lain tiap minggu. Ia menjajakannya dalam keranjang rotan.

Pada masa-masa awal berbisnis, Feeney sangat sederhana. Rapatnya dilakukan di kedai-kedai kopi. Ia tidak punya dana untuk menjamu klien. Bersama mitra bisnis, Robert Miller, ia membangun Duty Free Shoppers menjadi raksasa internasional. Kisah itu sudah dikenal di sepanjang era 1970-an dan 1980-an. Tetapi keputusan Feeney yang sudah 15 tahun lalu secara teratur mendonasikan semua hartanya baru terkuak pada 1997. Ketika itu, tahun 1982, ia merasa iba melihat masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Lalu, Feeney memutuskan secara diam-diam mentransfer kepemilikannya di Duty Free ke sebuah yayasan bernama Atlantic Philanthropies yang ia dirikan di Bermuda. Itulah salah satu upaya filantropi terbesar dan paling unik sepan jang sejarah.

Feeney bersikeras menutupi identitasnya dan bahkan merahasiakan sumbangan tersebut dari Miller (sosok yang tak lepas dari sorotan dan kemewahan: ketiga putrinya menikah dengan pangeran dari Yunani, pewaris bisnis keluarga Getty, dan putra Von Furstenberg). Semua bantuan Atlantic selalu disertai perjanjian kerahasiaan yang disahkan pengacara. Ia "me restui" penulisan buku ini semata karena kisahnya sudah bocor. Dan ia ingin agar detail-detail dari cerita tersebut benar.

O'Clery juga menunjukkan bagaimana Feeney memakai aksi filantropinya untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik, khususnya untuk men dorong proses perdamaian Irlandia lewat upaya diplomasi tak langsung. Para pemimpin Irlandia memuji upaya Feeney membantu rekonsiliasi di negara tersebut.

Sebagai bapak pengusung mazhab "membantu selagi masih hidup", Feeney sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia filantropi. Pendekatan carpe diem ini telah memengaruhi para mega-donatur lain —termasuk Bill Gates dan Michael Dell— untuk menyum bangkan kekayaan selagi masih hidup, bukannya memberi setelah meninggal dunia. Falsafah ini berlawanan dengan kebanyakan aksi filantropi Amerika. Badan-badan amal di sana membatasi sumbangan tahunan hanya 5% dari dana yang mereka kelola.

Pada 2003, Atlantic milik Feeney membuat pengumuman mencengangkan. Mereka berencana menyumbang $350 juta per tahun selama 12-15 tahun ke depan. Dana sebanyak itu akan disalurkan untuk empat hal: anak-anak miskin, perawatan dan pengobatan lansia, kesehatan dunia, serta hak asasi manusia.

Gaya filantropi Feeney yang mengusung konsep "berikan saat ini" tersebut juga memengaruhi para pendonor lain untuk menyiapkan anak-anak mereka agar bisa hidup layak tapi terbebas dari kutukan psikologi yang kadang bisa ditimbulkan oleh kekayaan. Guna mempertahankan pendapat bahwa hidup bukanlah sekadar soal kebebasan untuk membeli, dan bahwa pekerjaan serta tujuan hidup pada akhirnya bisa menciptakan eksistensi yang lebih, sejak awal Feeney hanya memberikan sebagian kecil hartanya untuk kelima anaknya. Ia melakukan hal yang sama untuk diri sendiri.

Anda ingin tahu berapa jumlah hartanya sekarang? hanya $1,5 juta. Feeney bukan hanya memengaruhi praktik filantropi masa kini. Ia juga telah meneruskan filosofi industrialis baja legendaris Andrew Carnegie:

"Orang yang mati kaya akan mati dengan rasa malu."

-Oleh Michelle Conlin (BusinessWeek 10-Oct-2007)