Selasa, 17 Mei 2011

SEJARAH MUSHAF ALQUR’AN


Alqur’an yang kita pegang saat ini pada awalnya belum berbentuk mushhaf seperti sekarang. Dahulu Alqur’an pada masa Rasullullah masih hidup ditulis di atas berbagai benda, seperti kulit kambing, kulit onta, daun, kulit pohon, pelepah kurma maupun di atas tulang binatang. Pada masa Rasul upaya pelestarian dilakukan sendiri oleh Nabi, dengan secara langsung mengingat, menghapal dan menyampaikan di hadapan para sahabat. Lalu sahabat menyampaikan secara berantai, kemudian ada yang menulis dan kebanyakan dikoleksi pribadi. Pada umumnya kaum Quraisy memiliki hafalan yang sangat kuat, karena pada masa itu mereka langsung bertemu dengan dan berguru pada Rasullullah disamping itu Alqur’an turun dalam bahasa mereka bahasa Quraisy.
Dalam menghapal dan mentransmisikan Alqur’an, Nabi tidak jarang mendapat peringatan dari Allah, agar selalu berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam membacakan ayat-ayat Alqur’an. (QS. Thaha, 20 : 114).
Ketika ayat- ayat Alqur’an diturunkan Allah, para sahabat segera berlomba untuk menghapalkannya. Setelah hapal mereka menyampaikannya kepada keluarga dan sahabat yang lain. Jika terjadi bacaan yang ”anah”, mereka langsung menginformasikan kepada Rasullullah, lalu Rasul segera menjelaskan karena hapalan beliau sangat kuat. Rasul bahkan digelari sebagai penghulu para penghapal Alqur’an. Penulisan Alqur’an pada masa Rasul sudah dikenal secara umum, beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu, antara lain Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Khalid bin Walid, Ubay ibn Ka’ab, Zaid bin Tzabit, Tsabit ibn Qais, Amir ibn Fuhairah, Amr ibn Ash, Abu Musa al-Asyari, dan Abu Darda.
Setelah Rasullullah wafat, Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Pada masa kekhalifahannya banyak terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad., slah satunya yang kita kenal dipelopori Musailamah al-Khadzab. Kondisi ini mengakibatkan perang Yamamah, 12 H. Banyak para al-huffazh, para penghapal Alqur’an yang tercatat sekitar 70 orang gugur di medan perang, dan sekitar 500 syuhada gugur. Peristiwa tersebut mengguggah Umar ibn Khattab yang kita kenal sebagai mujtahid ulung, meminta kepada Abu Bakar agar Alqur’an segera dikumpulkan dalam sebuah mushhaf. Semula Abu Bakar meras ragu, akan tetapi melihat kenyataan yang ada, beliau segera memerintahkan Zaid bin Tzabit unuk egera mengumpulkan ayat-ayat Alquran. Ciri mushaf pada masa Abu Bakar ini ditulis dengan sangat teliti dan cermat.
Setelah Abu Bakar wafat, mushhaf terjaga dengan sangat ketat di bawah tanggung ajawab langsung Umar ibn Khattab sebagai khalifah kedua. Pada masanya mushhaf diperintahkan disalin dalam lembaran (shahifah) yang lebih baik. Umar tidak menggandakannya karena memang hanya untuk master, naskah orisinil saja. Setelah naskah selesai ditulis sesuai aslinya dan urutannya maka naskah tersebut diserahkan pada Umi Hafsah istri Rasul untuk disimpan. Pertimbangan selain istri Rasullullah, Hafsah dikenal pandai membaca dan menulis.
Untuk menjadi sebuah mushhaf seperti sekarang, Alqur’an memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu yang relatif panjang. Mushhaf Alqur’an adalah hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah dibentuk oleh Khalifah Ustman bin Affan. Mushhaf inilah yang sering disebut sebagai Mushhaf Usmani atau Mushhaf imam. Prosesnya sangat panjang, dimulai dari pengumpulan catatan, penyampaian, pencattatan,dan kodifikasi hingga menjadi mushhaf Alqur’an yang disebut jam’Alqur’an. Semua proses ini adalah upaya dari bagian pentingndari usaha pengamanan dan pelestarian Alqur’an yang merupakan kitab suci asli dari Allah SWT.
Islam pada masa pemerintahan Ustman sudah meluas bahkan keluar dari Jazirah Arab. Untuk mengajarkan Alqur’an dikirimlah guru-guru ke setiap wilayah Islam tersebut. Para guru membawa mushhaf yang sudah digandakan yang ditulis pada masa Umar ibn Khattab setelah Ustman mengirim surst kepada Hafsah untuk mengirimkan salinan mushhaf tersebut dan diperbanyak. Khalifah Ustman memerintahkan Zaid bin Tzabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abd ar-Rahman untuk bekerjasama menggandakan Alqur’an. Ustman berpesan, apabila di antara kalian terjadi perbedaan dalam mengenal Alqur’an, tulislah dalam dialek Quraisy, karena Alqur’an diturunkan dalam dialek dan bahasa mereka.
Setelah tim selesai melaksanakan tugas, mushhaf yang salinan ikirm ke berbagai kota, sementara beberapa mushhaf yang yang lainnya yang masih ada oleh Ustman diperintahkan dibakar, untuk menghindari terjadinya pertikaian di kalangan umat. Hal ini dilakukan karena setiap mushhaf yang dibakar mempunyai kekhususan dimana masing-masing sahabat memberi tanda baca yang hanya dipahami pribadi, dan ada yang mencampur baurkan antara wahyu dan hadist dan sebagainya.
Mushhaf yang ditulis masa Abu Bakar tetap tersimpan ditempat Hafsah sampai akhir hayatnya. Diduga mushhaf otentik Ustman juga disimpannya. Setelah meninggal mushhaf tersebut diambil oleh Marwan ibn al-Hakim (w.65), walikota Madinah masa itu. Disebutkan dalam sabuah riwayat bahwa Marwan ibn al-Hakim memerintahkan untuk membakar mushhaf orisinil itu karena berbagai pertimbangan.
Sungguhpun demikian, mushhaf Ustmani masih belum disertai tanda baca. Hal ini bisa menyebabkan kesalahan fatal untuk orang awam. Pada perkembangan selanjutnya ada berbagai upaya para ulama menyempurnakan tanda baca dalam Alqur’an. Ketika wilayah Islam sudah mulai meluas perbedaan  bacaan itu sangat berbahaya karena bisa sangat berbahaya bagi perjuangan kebenaran. Berangkat dari kenyataan ini Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M) memerintahkan ulama besar al Hajjaj ibn Yusuf as-Saqati untuk segera memberi tanda baca pada Alqur’an. Dalam hal ini al-Hajjaj dibantu Nashr ibn Ashim, dan Yahya ibn Ma’mur dua murid ulama tersoshor Abu al-Aswad ad Duwali.
Ciri mushhaf yang ditulis pada masa Ustman, adalah ayat-ayat disusun berdasarkan riwayat yang mutawatir, tertib sesuai waktu sebelum dan sesudah hijrah, dan urutannya seperti yang ada sekarang. Sedangkan yang ditulis di masa Abu Bakar dan Umar, tidak ditulis berdasar tertib turunnya ayat, tetapi berdasarkan turunnya wahyu. Selain itu mushhaf Ustmani, di dalamnya tidak lagi terdapat catatan tambahan yang penting sebagai tafsir dari beberapa ayat tertentu seperti yang sering ditemui di mushhaf para sahabat. Mengenai kedudukan Mushhaf Ustmani, Jumhur Ulama tafsir cenderung  sependapat meniru untuk keseragaman dan konsistensi terhadap Alqur’an, karena Mushhaf Ustmani lebih memperkaya bentuk qira’ah daripada bentuk mushhaf yang baku, masa Abu Bakar dan Umar ibn Khattab.
Wallahu’alam bishawab